SATU JAM BERSAMA Gusti Kanjeng Ratu WANDANSARI, Kisah Kehidupannya Seperti Novel “HARRY POTTER”

KHAZANAH, LIFESTYLE328 Dilihat

SOLO, INFODESANEWS | Derai gerimis kecil mengantar pertemuan dengan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. Kita mengenalnya sebagai Gusti Koes Murtiyah, dipanggil sebagai Gusti Mung, puteri mbalelo dari Keraton Surakarta Hadiningrat, karena kegigihan untuk membela tradisi yang seharusnya tetap dilestarikan di wilayah keraton. Suasana  tampak sedikit mendung di sepanjang perjalanan dari ruang pertemuan menuju kraton Surakarta, di mana ia lahir 48 tahun lalu. “Anda akan mengerti keindahan dan kekayaan perhiasan milik kraton Surakarta dari sini,” ia membuka pembicaraan.

GKR Wandansari (Gusti Mung) saat di wawancarai jurnalis di Keraton Surakarta, belum lama ini (foto: dok)

Meski warnanya sudah mulai kusam, pintu gerbang kraton masih menyisakan kejayaan di masa lalu ketika bangunan itu didirikan pertama kali di tahun 1744 oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II. Dua abdi dalem yang mengenakan kemeja dan celana panjang (bukan baju abdi dalem) tampak membungkuk dan memberikan hormat ketika Gusti Mung memasuki pintu kraton Kori Kamandungan. Sebagai Kanjeng Ratu – putri dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII – Gusti Mung berjalan melenggang dengan kepala tegak untuk tetap menjaga wibawa. Lantas membawa dewi menelusuri tempat-tempat yang menjadi kesehariannya di masa lalu, sebelum akhirnya dipinang oleh kekasihnya, Eddy Wirabumi (Kanjeng Pangeran Arya Wirabhumi)

Siang itu kraton terasa sunyi. Keheningan menyelinap. Lengang. Bangunan mewah itu hanya diisi oleh Gusti Mung dan putrinya Sedah Mirah, dan dewi. Ia membuka sandal, dan ditinggalkan di tempat bernama Sri Manganti. Lalu kembali menyusuri halaman luas bernama Kedhaton yang dirindangi oleh pohon-pohon sawo kecik. Tanahnya berupa pasir yang seolah basah dan lembut ketika menempel di telapak kaki – adalah pasir dari pantai laut selatan – supaya selalu mengingatkan pada Ratu Pantai Selatan yang juga menjadi istri bagi para raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sembari berjalan, ia bercerita segala pengalamannya sebagai putri raja yang tinggal di dalam tembok kraton secara detail. Seluruh kisahnya amat menarik, penuh suka, banyak pula duka, perpaduan antara intrik politik, kemewahan, keseharian, hingga cerita para hantu yang mengingatkan pada novel Harry Potter. Rasanya, tak selesai dalam semalam untuk mengisahkannya.

Saat bersama para abdi dalem Keraton (dok)

Sepanjang lorong, berbagai lukisan lama digantungkan di dinding. Lukisan itu berisi gambar para raja dan permaisuri dengan berbagai busana kebesaran. Salah satunya adalah Ratu Hemas, putri Hamengkubuwono I yang dijodohkan dengan Pakubuwono X, yang diharapkan dapat memersatukan kembali  kasunanan Surakarta dan kasultanan Yogyakarta. Usianya masih 16 tahun ketika dipersunting sebagai permaisuri oleh raja berumur 60 tahun tersebut. Dia mengenakan busana kebaya pendek dengan selempang dan bintang penghargaan. Sepasang subang, kalung berbatu giok, serta gelang, melengkapi busananya. Pada jari telunjuk, jari manis, dan jari kelingking masing-masing dipasang cincin batu giok dan berlian.

Berbagai perhiasan tersebut masih terpasang di foto-foto dengan indahnya. Sinar berlian, kekuatan batu dan warna, serta desainnya yang elok benar-benar mengagumkan mata. “Tapi sayang, semua itu hanya tinggal kenangan,” tandas Gusti Mung. Seharusnya, perhiasan-perhiasan tersebut merupakan warisan kraton Surakarta yang harus dilestarikan. “Namanya, Ageman Keprabon. Siapapun (dari keluarga raja) berhak mengenakan, tapi bukan memiliki, Bahkan raja ataupun permaisuri,” keluh Gusti Mung, sembari menceritakan bahwa perhiasan keraton itu sudah berpindah tangan karena dijual oleh oknum-oknum dari dalam kraton itu sendiri..(bersambung)

Berita Terkait

Baca Juga