Semarang, Infodesanews.com – Santri dalam sejarahnya memiliki peran penting bagi terbentuknya NKRI. Catatan prestasi santri dalam mempertahankan kemerdekaan mendapatkan apresiasi dari Presiden Joko Widodo yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Meski hari besar nasional, tanggal tersebut tidak terhitung sebagai hari libur atau tanggal merah, keputusan itu dituangkan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No 22 Tahun 2015. Hal ini ditegaskan dalam Sarasehan Jurnalistik Ramadhan yang digelar di Gedung Prof. Satmoko LP3 Universitas Negeri Semarang, jalan sekaran Gunungpati Kota Semarang, Senin (21/5). Gerakan Santri Menulis sebagai upaya melawan paham radikalisme.
Ketua FKPT Jateng, Dr. Drs. H. Budiyanto, SH, MHum mengungkapkan, para pendiri bangsa ini telah sepakat dengan bentuk dan asas Negara Indonesia. Spirit nasionalisme diwujudkan pula dengan adanya jargon hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari Iman). Jargon ini, hanya ada di Indonesia sebagai manifestasi hubungan antara Agama dengan Negara yang diambil dari Islam periode Madinah. Keutuhan Negara ini diuji sejak adanya berbagai bahaya laten. Di antaranya DI/TII, PRRI/Permesta, PKI dan yang bentuk terbaru saat ini Radikalisme-Terorisme.
Budiyanto menerangkan, Radikalisme ini bergerak dengan klaim kebenaran beragama. Gejalanya tampak dari adanya klaim diri dan kelompoknya yang paling benar dan sesuai dengan Agama, bahkan sering bergerak dan menghakimi mereka yang dipandang berbeda paham sebagai golongan yang salah atau sesat. Gerakan radikalis-teroris ini sebenarnya bentukan Amerika dalam perang melawan Uni Soviet. Amerika membentuk milisi dengan merekrut pemuda Islam dari berbagai negara untuk berperang atasnama jihad di Afganistan.
Lebih lanjut, Budiyanto menyatakan peran santri sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya minat belajar Agama dari semua kalangan. Dikatakan, radikalisme banyak berkembang melalui tulisan, untuk itu, produktifitas santri dalam menulis akan mewarnai dan menjadi sebuah usaha kongkrit dalam deradikalisasi Agama. Sebab, banyaknya tulisan dan live streaming radikalis yang beredar telah meracuni masyarakat. Terbukti dari pelaku bom di Surabaya, pelaku tidak pernah bertemu dengan Aman Abdurrahman, orang yang disinyalir sebagai pimpinan Jamiyyah Ansharud Daulah (JAD) sebagai ISIS-nya Indonesia.
Sementara, Walikota Semarang H. Hendrar Prihadi, SE, MM mengatakan Gerakan Santri Menulis, Sarasehan Jurnalistik Ramadan 2018 mempunyai tantangan baru, yakni dengan fokus menyikapi kemajuan teknologi informasi dengan berkembangnya media sosial.
Walikota Semarang yang akrab disapa Hendi itu pun menjelaskan, sekarang siapa saja bisa menulis dan dikirimkan atau diunggah di media sosial ataupun media online. Sehingga tulisan ini tidak melalui proses editing, dan langsung bisa dibaca dan dibagikan oleh orang banyak.
“Ini bisa berbahaya jika penulisnya tidak dibekali dengan kemampuan menulis yang baik serta mencari kebenaran informasi tesebut, atau bahkan tidak dilengkapi komitmen menjaga kesatuan NKRI,” kata Hendi menegaskan.