JAKARTA, INFODESANEWS | Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menanggapi santai terkait isu dirinya dipasangkan dengan Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2024.
Namun kali ini, Prabowo lah yang digadang memegang kendali dan Jokowi menjadi wakil presidennya.
“Ya sebuah kemungkinan, ada saja,” singkat Prabowo saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (26/9/2022).
Sebelumnya, isu yang sama juga sudah pernah ditanyakan kepada Presiden Jokowi. Kala itu, kepala negara tegas menyampaikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam hal-hal menyangkut kontestasi Pemilu 2024 untuk saat ini.
“Sejak awal saya sampaikan bahwa ini yang menyiapakn bukan saya, urusan 3 periode sudah saya jawab. Begitu dijawab muncul lagi yg namanya perpanjangan, juga saya jawab. Ini muncul lagi jadi wapres, itu dari siapa?,” kata Jokowi saat di Istana Negara Jakarta, Jumat 16 September 2022.
Dia memastikan, hal itu datangnya bukan dari dirinya. Dia pun enggan berkomentar lebih perihal itu
“Kalau dari saya, saya terangkan. Kalau bukan dari saya, saya Ndak mau terangkan,” Jokowi menutup.
Sebelumnya, Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago menyatakan, perlu ditanyakan lebih dulu betulkah Jokowi mau menjadi cawapresnya dari Prabowo.
“Mohon maaf, nampaknya tawaran tersebut justru merendahkan wibawa dan martabat Jokowi yang pernah menjadi presiden dua periode,” ujar Pangi Syarwi Chaniago yang juga merupakan CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, lewat keterangan pers diterima, Kamis 15 September 2022.
Meski pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh Jokowi, namun Pangi termasuk tidak yakin Jokowi mau untuk digandeng menjadi wakil presiden Prabowo.
“Masih jauh lebih tertarik Jokowi mungkin dengan ide tiga periode, faktanya presiden Jokowi cenderung selama ini membiarkan wacana tersebut terus dipancarkan ‘inner circle’ pendukung beliau, ditambah lagi presiden Jokowi mengatakan itu sah-sah saja karena bagian dari suara demokrasi,” ucap Pangi.
Pangi menambahkan, wacana duet Prabowo-Jokowi belum ada jaminan bahwa duet ini diprediksi bakal mulus melenggang ke kursi Istana.
“Citra, elektabilitas Jokowi ada kemungkinan redup. Itu artinya tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden terjadi fluktuasi dan dinamis, ada kemungkinan figur Jokowi tidak lagi se-populer ketika maju pada pemilu 2014 dan pemilu 2019,” terang Pangi.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menjelaskan, dalam membaca suatu norma hukum tak bisa hanya sekadar teks atau harfiah saja. Ada penafsiran yang bersifat sistematis atau harus dilihat dalam konteks lebih besar maupun historisnya.
“Pasal 7 itu sebenarnya original intentnya jelas pembatasan kekuasaan karena waktu pasal 7 itu masuk dalam amandemen kan kita dalam konteks pasca reformasi, pada tahun 1998 itu sudah keluar TAP MPR yang langsung membatasi kekuasaan presiden dan wakil presiden jadi memang idenya pembatasan kekuasaan jangan di pelintir pelintir lagi kalau udah presiden jadi boleh wapres,” tutur lewat pesan suara, Jumat (16/9/2022).
Menurutnya, dalam membaca pasal 7 harus mencermati Pasal 8 ayat 1 UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
“Maksudnya kalau kemudian mantan presiden jadi wakil presiden kemudian presidennya mangkat, artinya wakil presidennya gak bisa lagi jadi presiden karena dia dua sudah kali, artinya ada pertentangan,” jelas Bivitri.
Bivitri berujar, ada kekeliruan dalam membaca pasal 7 tersebut. Terlebih, tidak etis jika Jokowi mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.
“Bukankah seorang Jokowi itu merasa jabatannya mundur, terus jadi nyari nyari jabatan wapres itu menurunkan kualitas dan sangat terkesan kesan mencari jabatan, jadi tentu saja tidak etis,” kata dia.
“Harusnya enggak usah di perbincangkan lagi nih, jadi kita sarankan saja tidak usah terlalu diperpanjang soal ini karena tidak etis, inkonstitusional, dan menurunkan kualitas P.ak Jokowi sendiri,” jelas Bivitri.***Red/Myd