YOGYAKARTA – INFODESANEWS, Pernahkah anda mendengar pesantren khusus waria? Yaitu pondok pesantren dengan santri atau santriwatinya adalah waria, alias wanita pria. Nah di pusat kota gudeg Yogya, ada sebuah pesantren unik tersebut. Namanya Pondok Pesantren Khusus Waria Senin –Kamis. Seperti apa wujudnya?
Dinamakan begitu, agar orang atau masyarakat umum bisa langsung tahu, bahwa pondok pesantren tersebut memang hanya untuk waria. Atau orang-orang dengan kecenderungan, atau orientasi seksual yang sering dijuluki waria. Jadi untuk orang normal memang tidak diperkenankan menjadi santri di pondok ini. Bagi waria yang merasa muslim, bisa menyalurkan kebutuhan spiritualnya di tempat tersebut tanpa merasa ragu.
“Kalau untuk orang normal, sudah banyak pesantren lain yang sudah ada selama ini, bahkan yang lebih ideal dan siap menampung. Sedangkan untuk waria, karena faktor sosialnya, memang lebih mudah jika sebagai langkah awal, bisa masuk dulu, atau minimal mengenal pesantren khusus waria ini,” terang Maryani (55), pendiri dari pondok pesantren unik tersebut.
Wanita yang juga mengelola salon Ariyani ini menuturkan. Bahwa sejarah berdirinya pondok pesantren yang dipimpinnya, tak lepas dari pengalaman hidupnya, teman-temannya, serta peristiwa besar gempa tektonik Yogya 27 Mei 2006 silam. Dari kesamaan visi dan misi komunitas waria itulah, maka lahirlah pesantren khusus waria. Dan berlokasi di Jl. Letjen Suprapto, Kampung Notoyudan, Gedong Tengen, Ngampilan, Yogyakarta.
Sebelum comeback ke kota kelahirannya sendiri yaitu Yogyakarta, Maryani sudah malang melintang ke berbagai kota. Khususnya di titik-titik lokasi yang terkenal akan komunitas warianya. Misalnya Taman Lawang di Jakarta, Wonokromo atau Keputran di Surabaya, Sriwedari di Solo, serta Madiun dan Semarang. Di kota-kota itulah, pengalaman sebagai waria jalanan pernah dilakoninya.
Namun semakin lama, naluri spiritualnya mengantarkan ia ke tempat-tempat pengajian umum. Akhirnya petualangannya mencari Tuhan itu, membawanya terdampar sampai ke sebuah pengajian umum. Kala itu diadakan di wilayah Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta, yang dipimpin oleh ustad Kyai Haji Hamroeli Harun. Sejak saat itulah, ia makin kepincut belajar agama dengan Kyai Hamroeli di daerah Samben, Kemusuk, Godean, Sleman, Yogyakarta.
“Saat masa awal mengikuti pengajian umum itu, saya merasa bahwa diantara ribuan umat yang ada di lokasi, hanya sayalah satu-satunya waria yang datang. Dan alhamdulilah, komunitas pengajian yang saya datangi, menerima saya dengan tangan terbuka termasuk ustad-ustadnya,” lanjut wanita yang juga mengadopsi seorang anak bernama Rizky Ariyani ini.
Sejak saat itu, ia mengajak beberapa temannya, untuk aktif mengikuti pengajian dari sang ustad tiap hari Minggu Pon. Namun memang tak mudah mengajak teman-temannya untuk mengikuti acara tersebut. Apalagi waria-waria yang masih muda umurnya. Mereka memang lebih banyak enggannya. Dan lebih suka dengan kehidupan hedonis (kenikmatan sesaat), serta budaya dan gaya hidup populer lainnya. “Jadi seringnya, saya hanya datang sendirian, berdua, atau paling banter bertiga saat awal-awal pengajian umum tersebut,” kenangnya.
Waria-waria yang lain mengaku belum yakin atau masih minder, jika harus berbaur dengan komunitas normal lainnya saat mengikuti pengajian tersebut. lambat-laun akhirnya banyak juga yang tertarik. Dan rekor terbanyak ada 10 orang yang berhasil ia ajak untuk mengikuti pengajian tersebut. Lambat laun pula banyak profesi kelam dari teman-teman warianya yang ditinggalkan. Mereka berganti profesi dari waria jalanan menjadi peñata rambut, pramuniaga toko, karyawan restoran, cafe, atau warnet.
Nah saat gempa bulan Mei 2006 silam, ia dan beberapa kawan sesama waria mengadakan kegiatan doa bersama. Untuk keselamatan seluruh rakyat yang tertimpa bencana gempa agar diberi kekuatan, ketabahan, dan terhindar dari bencana-bencana terutama gempa-gempa susulan berikutnya.
Kegiatan yang juga dipimpin oleh ustad panutannya itu mendapat dukungan dari banyak pihak. Terutama dari warga kampung sekitar salonnya yang dijadikan tempat kegiatan. Dan jumlah waria yang datang dari undangan mulut ke mulut juga luar biasa. Hampir 50-an waria datang saat itu. “Dari kegiatan doa bersama itulah, lalu lahir ide unbtuk mendirikan Ponpes khusus waria ini,” ceritanya lagi.
Menurutnya tidak gampang menarik para waria untuk belajar agama, apalagi dengan sistem pesantren, yang mengharuskan santri menginap di pondok pesantren. Karena itu, Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis ini hanya menyelenggarakan kegiatan pada hari Senin dan pada hari Kamis.
Artinya santri waria yang datang hanya dijadwal pada hari-hari tersebut. Langkah awal itu dimaksudkan agar tak terlalu membelenggu kebebasan santri yang profesinya sangat beragam. Bahkan banyak santri yang masih menggeluti profesi kelam malamnya. “Awalnya, jadwal kegiatan pesantren dilakukan setiap Senin dan Kamis, karena itulah pesantren ini dinamakan Ponpes Senin-Kamis. Alasan pemilihan nama Senin-Kamis karena hari Senin dan Kamis biasanya digunakan oleh orang Jawa untuk bertirakat atau beribadah, misalnya puasa,” jelas wanita yang juga ketua Iwayo (Ikatan Waria Yogyakarta) ini, saat ditemui di Salon Ariyani yang berdampingan dengan pesantrennya. (Meddia/MKY/Bersambung esok…….)