Semarang, Infodesanews.com – Jihadis sebenarnya adalah para pemuda Ansor dan santri, bukan para radikalis-teroris, mereka hanya mengaku. Hal ini diungkapkan oleh Ketua FKPT Jateng Dr. Drs. H. Budiyanto, SH, MHum dalam gelaran acara Ramadhan Ceria yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Galangsewu jalan Jurang Blimbing Kompleks Undip Tembalang Kota Semarang, sore ini (27/5).
“Ansor ini jihadis sejati karena Jihad dalam mempertahankan rumah besar kita,” kata Budiyanto dengan tegas, “Kita diwarisi rumah besar Indonesia, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 45. Itu sudah harga mati dan wajib kita pertahankan,” lanjutnya.
Lebih lanjut, saat diwawancari sejumlah awak media, Senior gerakan kepemudaan Jawa Tengah ini menyatakan bahwa sejarah radikalisme memiliki akar ideologi yang panjang. Jadi, bukan hal yang baru. Menurutnya hal yang perlu dikhawatirkan bukan para radikalis-teroris. Sebab, radikalis-teroris hanya menginginkan kematian, maka, hal yang perlu dikhawatirkan adalah paham radikalis-teroris terus berkembang di kalangan mahasiswa sebagaimana dalam paparannya usia para pelaku aksi teror ada pada usia 20-40 tahun.
Dalam kesempatan tersebut, Budiyanto mengajak para santri untuk membentengi diri, keluarga, dan masyarakat dari bahaya paham radikalis-teroris. Kita jaga, kita lawan dengan cara yang baik walaupun mereka menyerang kita dengan cara tidak baik, kata dia. Menutup wawancara, Budiyanto yang pernah juga menjabat sebagai anggota DPRD Jateng menegaskan, radikalisme-terorisme adalah musuh bersama, bukan musuh aparat Negara, dan Ansor saja.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah, H. Sholahuddin Aly menyatakan dengan tegas bahwa para pelaku teror adalah orang yang jahat, tak berperikemanusiaan.
“Kita yang Jihad, mereka yang Jahat,” kata pria yang akrab dipanggil Gus Sholah ini membuka paparannya. Menurutnya, berkembangnya paham radikal dan teror di Indonesia tidak lepas dari persoalan cara belajar Agama yang istant dan tanpa kejelasan sanad keguruan. Hanya bermodalkan Al-Qur’an dan hadits terjemahan tanpa standar keilmuan untuk memahami apa yang tertuang dalam sumber hukum Islam tersebut. Pemahaman Islam yang didapatkan tidak komprehensif.
Gus Sholah berpendapat bahwa yang terjadi saat ini merupakan fenomena belajar tanpa guru. Karena itulah para Ulama dahulu sering berpesan siapa yang belajar “agama” tanpa guru, maka gurunya adalah syaithan. Dan sebab fenomena itulah hari ini yang kita tuai. Selain itu, Gus Sholah juga mengkritisi slogan kembali pada al Quran dan Hadist, slogan tersebut memang baik tapi kalau tidak mengetahui metode keilmuan tafsir dan gramatika bahasa arab akan berbahaya.
Dicontohkan adanya ayat tentang diperbolehkannya melawan terdapat latar belakang turunnya (asbabun nuzul) ayat tersebut. Namun oleh mereka yang ingin menghancurkan keutuhan NKRI direkayasa habis-habisan, digoreng
“Hari ini opini Islam didzalimi sedang dibangun,” tandasnya, “keadaan yang ada digeneralisir, padahal hanya sebagian saja,” sambungnya. Hal ini, menurutnya, didukung oleh banyaknya stasiun televisi amatiran yang ingin mencari popularitas. Untuk membentengi hal tersebut, dirinya menyarankan agar para santri harus dididik tentang media, sehingga mampu berdakwah dengan media dan mengisi kajian keagamaan dengan konten yang positif
Sementara, anggota DPD RI dari Jawa Tengah, Drs. H. Ahmad Muqowam menyatakan Islam Nusantara sebagai sebuah konsep berdakwah dengan pendekatan kultural, pendidikan, dan sebagainya merupakan metode yang tepat dalam berdakwah. Nusantara dalam konteks keIslaman menjadi sebuah spesifikasi sehingga diistilahkan Islam yang tawasuth. Jangan ragu, kata dia, kebenaran yang akan menang. Jangan percaya pada sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya. Bila ingin mendapatkan solusi keagamaan datanglah pada ahlinya. Seperti Kiai di pesantren semacam ini.
Meneguhkan apa yang telah dipaparkan para narasumber, Pengasuh PP Galangsewu, KH Samani menegaskan bahwa hal utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diajarkan pesantren adalah meneguhkan para santri dalam paham ahlus sunnah wal jama’ah ala NU. Sehingga sesuai dengan yang diamanatkan bahwasanya NKRI harga mati dan Islam sejak zaman Nabi sudah rahmatan lil’alamin.