BANYUBIRU, INFODESANEWS – Ibu-ibu petani dari 12 kabupaten pamer kekompakan menanam padi dengan metode Jajar Legowo di Ngrapah, Banyubiru Kabupaten Semarang, Senin (22/10/2018). Tidak tahan melihat aksi para perempuan paruh baya itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pun ikut terjun ke sawah.
Ibu-ibu petani tersebut memang sengaja ngumpul di Ngrapah sejak subuh untuk beraksi di Festival Tanam Jajar Legowo, festival yang aktif diadakan tiap masa tanam 4 tahun terakhir. Gerakan mereka ini diinisiasi Konsorsium Beras Unggul Jawa Tengah.
“Ada 40 regu tanam yang ikut. Semua bergerak mendukung sedulur tani di 15 kabupaten untuk meningkatkan produksi dan jual salah satunya menerapkan SOP cara budi daya yang baik, metode tanam Jajar Legowo,” kata Ruth Murtiasih Subodro pengurus Konsorsium Beras Unggul Jawa Tengah.
Metode tanam padi Jajar Legowo dilakukan dengan cara mengatur jarak antar benih pada saat penanaman. Sistem ini telah terbukti dapat meningkatkan hasil padi dibanding dengan penggunaan sistem tradisional bahkan mampu mendongkrak panen mencapai sekitar 30 persen per hektare.
Sistem tanam ini menerapkan pola beberapa barisan tanaman yang diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya ditanam pada barisan yang kosong dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan.
“Jarwo ini memberikan pemahaman baru cara menanam padi. Kedua, bisa menjelaskan pada masyarakat untuk beralih pada teknologi pertanian modern,” kata Ganjar.
Orang nomor satu di Jateng itu ikut terjun ke sawah yang tentu saja penuh lumpur. Padahal ia masih mengenakan baju boko dan sarung, usai memimpin upacara peringatan Hari Santri Nasional ke 4 di Simpang Lima Semarang.
“Sarunge keno lumpur pak,” teriak salah satu petani.
“Wes gak popo, tak cincinge,” sahut Ganjar seraya menarik ujung sarung ke atas kemudian dililitkan di pinggang.
Dalam sarasehan yang penuh keakraban, Ganjar menyinggung upaya penerapan sistem pertanian modern di Jawa Tengah. Kepada ibu-ibu petani maupun buruh tani yang hadir, Ganjar menanyakan penggunaan peralatan pertanian modern apakah sudah diterapkan di wilayah masing-masing. Karena penggunaan peralatan modern di sektor pertanian sudah mendesak, terlebih minimnya generasi muda tani.
“Ada atau tidak ibu-ibu yang bisa menggunakan transplanter. Kita mau bantu. Kalau ibu-ibu menggunakan manual ya kasihan. Sudah sepuh-sepuh generasi muda tani juga tidak ada. Maka harus masuk mekanisasi,” katanya.
Yang menarik lagi, kata Ganjar, mereka bertani dengan metode baik. Hal itu terbukti ketika dia menanyakan lebih memilih mana menerapkan pertanian organik atau anorganik. Mendapat pertanyaan itu, ibu-ibu kompak menjawab memilih pertanian organik.
“Kalau ini bisa masuk, maka hasil pertaniannya bisa masuk kualifikasi premium, ini mahal sekali. Tugas kita membantu mereka memasarkan. Harapannya festival ini bisa memberi semangat agar masyarakat bisa bertani dengan baik,” kata Ganjar.
Festival ini juga didukung Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Deputi Ambassador Kerajaan Belanda, Ferdinan Lahnstein mengaku senang bisa membantu meningkatkan pengetahuan teknik pertanian dan wirausaha, terlebih dengan adanya konsorsium.
“Tahun 2016 Presiden Jokowi berkunjung ke Belanda, dan melihat sektor pertanian di sana, kemudian berbincang bagaimana caranya sistem pertanian di Belanda juga diterapkan di Indonesia. Dengan Jawa Tengah sebagai contohnya. Kami percaya ada tantangan, tapi kami percaya dengan pemerintah di sini,” katanya.(Ibra/Puji/Humas Jateng)