Keman menambahkan, sejumlah usaha seperti rumah makan di kawasan wisata memiliki omzet besar, seperti konsumsi ikan yang mencapai 5 ton per minggu atau 20 ton per bulan.
“Adanya skema bagi hasil yang adil antara pengusaha pariwisata dan warga. Bayangkan, acara masyarakat masih mengandalkan iuran, sementara desa wisata seperti kami seharusnya bisa mendapatkan pendapatan dari pajak untuk kesejahteraan bersama,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dengan adanya transparansi dan alokasi pendapatan pajak pariwisata dapat menciptakan simbiosis mutualisme antara pengusaha dan masyarakat.
“Kalau kami mendapat pendapatan dari situ, bisa terjalin komunikasi yang baik antara pengusaha dan warga,” tegasnya.
Meski ada ketentuan Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar 2% dari laba perusahaan untuk daerah terdampak, masyarakat mengaku belum merasakan manfaatnya.