SOLO, INFODESANEWS | Hari ini, Pura Mangkunegaran melaksanakan kegiatan akbar, yakni Jumenengan Dalem (upacara naik tahta) Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X di Pendapa Pura Mangkunegaran. Sebuah tari sakral pun digelar yaitu Bedhaya Anglir Mendhung.
Tari Bedhaya Anglir Mendhung, merupakan sebuah tarian yang mengisahkan tentang pertempuran Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said saat melawan penjajah Belanda pada tahun 1752 di Ponorogo.
Wedono Satriyo Pura Mangkunegaran, Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Lilik Priarso Tirtodiningrat mengatakan, Tari Bedhaya Anglir Mendhung, hanya dimainkan pada saat upacara peringatan kenaikan tahta atau Tingalalan Jumenengan KGPAA Mangkunegara. “Untuk Tari Bedhaya Anglir Mendhung ini durasinya sekitar 50 menit,“ katanya.
Lilik menambahkan, pada jumenengan kali ini, panitia juga mengundang Gubernur Jawa Tengah, Wali Kota Solo serta tokoh-tokoh di sekitar Solo. Kemudian 3 kerajaan penerus dinasti Mataram Islam. Yakni Keraton Kasunanan Surakarta, Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Pura Pakualaman.
Diketahui, Tari Bedhaya Anglir Mendhung ini termasuk ke dalam tari gaya Mangkunegaran yang memiliki perpaduan antara tari gaya Yogyakarta dengan gaya Surakarta. Keterangan tersebut mengutip dari Buku Reksa Pustaka Mangkunegaran, dengan judul Anglir Mendhung Monumen Perjuangan Mangkunegara I.
Berdasarkan buku tersebut, tari ini sudah ada sejak zaman Mangkunegara I yang mana sejak zaman Mangkunegara II hingga VII tarian ini tidak pernah dipentaskan kembali. Hingga pada tahun 1981, tarian ini kembali dipentaskan.
Menurut keterangan dalam buku Anglir Mendhung Monumen Perjuangan Mangkunegara I, Babad Mangkunegaran, Sastronaryatmo, tarian ini diciptakan oleh Mangkunegara I Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa. Saat pembuatan tari tersebut, Mangkunegara I dibantu oleh dua orang penata gendhing yaitu Kyai Gunasuta dan Kyai Kidungwulung.
Tarian Anglir Mendhung berasal dari kata anglir atau lir yang artinya seperti atau serupa. Sedangkan mendhung berarti awan. Sehingga Anglir Mendhung dapat diartikan sesuatu yang menyerupai awan. Pada dasarnya tari ini menggambarkan bagaimana suasana peperangan di Desa Ksatriyan, Ponorogo.
Tari Bedhaya Anglir Mendhung dianggap keramat dan dilestarikan hingga saat ini dan hanya dipentaskan dalam upacara tertentu. Tari ini dilakukan oleh tujuh orang penari wanita dengan keistimewaan pesinden dan penabuh gamelannya juga wanita. Penaripun harus masih gadis.
Tidak sembarang orang
Tarian sakral ini ditujukan untuk raja yang berkuasa. Mereka yang menarikan tarian ini tidak bisa sembarangan orang, selain itu jumlahnya juga harus ganjil. Para penari tersebut juga harus masih gadis atau belum menikah dan memiliki anak. Harus lajang kalau sudah berkeluarga tidak boleh. Jadi kita regenerasi terua karena ada batas usia maksimal, batas usia maksimal 30 tahun.
Selain syarat tersebut, para penari itu juga harus menjalani karantina untuk melaksanakan ritual khusus. Untuk standar penari Bedhaya Anglir Mendung adalah penari senior tetapi masih lajang dam belum berkeluarga.
Bedhaya Anglir Mendung adalah tarian sepanjang 45 menit tersebut merupakan tarian level tertinggi di Mangkunegaran. Karena lamanya tarian,maka dibutuhkan fisik yang prima untuk dapat mempertahankan koreografi, olah tubuh dalam penampilan.
Mendung ini hanya dimiliki oleh Mangkunegaran. Tarian ini paling tidak dipentaskan minimal setahun sekali pada saat ulang tahun naik tahta. Bedhaya Anglir Mendung adalah karya Mangkunegara (MN) I atau Pangeran Randen Mas Said Sambernyawa kisah perjuangan sebelum menjadi Mangkunegara I.Yang sampai saat ini masih dijaga, tarian ini tidak boleh keluar dari Pura Mangkunegaran dan hanya boleh ditarikan di istana Pura Mangkunegaran. (*/red)