BANYUMAS, INFODESANEWS – Di tengah sepinya kegiatan sastra tingkat nasional akibat pandemi, kehadiran berbagai kegiatan sastra dan literasi di tingkat daerah hingga komunitas
menjadi sarana efektif untuk mendorong perlindungan dan pengembangan sastra dari pinggiran. Hal tersebut disampaikan tiga penyair nasional yaitu Bambang Widiatmoko, Tri Astoto Kodarie dan Badarudin Amir saat acara sastra bertajuk ‘Di Desa Berpuisi’ yang diinisiasi oleh Komunitas Orang Pinggiran Indonesia (KOPI) di Presiden Geguritan, Wanto Tirta Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang, Sabtu (7/11/2020) malam.
Dalam acara tersebut diluncurkan tiga buku puisi yaitu Mubeng Beteng karya Bambang Widiatmoko, Tarian Pembawa Angin karya Tri Astoto Kodarie dan Di Desa Berpuisi antologi tiga penyair dan KOPI. Selain juga meluncurkan buku dan pembacaan puisi bersama, mereka juga berbagi pengalaman saat mengikuti Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III di Jakarta pekan lalu.
Bambang Widiatmoko mengapresiasi sejumlah kegiatan sastra yang dilaksanakan dari tingkat nasional, daerah dan hingga komunitas sastra di wilayah pelosok desa. Pasalnya di tengah pandemi saat ini tidak seluruh agenda sastra dapat terselenggaranya momen-momen literasi dan sastra di tingkat komunitas dengan tatap muka langsung di masa pandemi terbilang menjadi suatu kemewahan dan keistimewaan tersendiri,” katanya
Menurutnya banyak acara yang lain gagal karena dinilai tak aman secara kesehatan, seperti contohnya Borobudur Festival terpaksa dilaksanakan daring, kemudian Festival Bintan, Kepulauan Riau.
“Terakhir Peringatan Hari Puisi Indonesia yang harusnya puncak acara 26 Juli ternyata sampai sekarang belum ada kepastian dilaksanakan kapan karena Jakarta masih diberlakukan PSBB dan sebagainya,” jelasnya.
Iapun berpendapat kegiatan sastra idealnya bisa dilaksanakan tidak hanya bersifat nasional, tetapi diharapkan dapat dilaksanakan di tingkat lebih bawah lagi baik kabupaten hingga komunitas-komunitas sastra. Gerakan sastra yang dilaksanakan di tingkat daerah hingga level komunitas dinilai efektif dalam menampung, mengembangkan dan akhirnya dapat mendongkrak kuantitas dan kualitas karya sastra dari para peminat sastra.
“Dengan seperti kegiatan (Di Desa Berpuisi, red) ini, sastra akan semakin membumi. Mereka semakin terayomi, terlindungi dan terarahkan menuju kualitas yang lebih baik. Riilnya ketika kumpul seperti ini, kita menjadi tahu bahwa misalkan karya mereka sudah cukup banyak, namun kualitasnya perlu ditingkatkan, kita juga perlu festival sastra, bikin antologi bersama dan sebagainya,” jelas penyair asal Jakarta yang telah malang melintang sebagai inisiator, penggagas dan penggerak berbagai even sastra dan literasi berskala nasional dan daerah ini.
Sementara itu penyair asal Sulawesi Selatan, Badarudin Amir mengatakan geliat sastra daerah dan komunitas saat ini terbilang cukup bagus. Ia mencontohkan di wilayahnya telah beberapa kali even sastra yang mengangkat dan berbasis dari kekayaaan tradisi lokal. Hal ini pun cukup efektif untuk mendorong dan menampung minat bersastra dari warga daerah dan komunitas sastra yang tak mungkin seluruhnya tertampung dalam even sastra tingkat nasional yang terbatas.
“Di tempat kami ada Festival La Galigo dan juga berbagai kegiatan sastra lainnya. Jadi kegiatan ini menjadi sarana kami untuk bisa mendorong regenerasi minat sastra Indonesia sekaligus menjaga kekayaan tradisi lokal yang ada. Karena tidak bisa dipungkiri banyak bahasa ibu yang juga punah karena semakin minimnya penutur dan karya literer yang mendokumentasikan hal itu,” jelasnya.
Dalam kegiatan Di Desa Berpuisi ini turut membacakan puisi dan berbagi pengalaman, sejumlah penggerak sastra komunitas di Banyumas antara lain Edi Pranata PNP, Wanto Tirta, Nanang Anna Noor, Jarot Setyoko, Dewandaru Ibrahim, Hamidin Krazan, Riswo Mulyadi, Trisnatun Abuyafi, Afaf Mutia Zahwa, Imam Burhanudin, Khusnul Khuluqi dan sebagainya.
Dari kegiatan ini juga muncul ide dan komitmen bersama bahwa gerakan literasi dari pinggiran akan terus dijalankan meskipun dilaksanakan swadaya oleh masyarakat dan komunitas.