SURABAYA, INFODESANEWS | Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi dalam kasus tragedy Kanjuruhan, menghadirkan pakar Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Profesor Kuncoro, Rabu (15/2/23).
Dihadapan Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya, Kuncoro memberikan analisa jika penalaran rasional atau karakter polisi sebetulnya bisa diredam sebelum kick off pertandingan. Dimana panpel memiliki regulasi kewenangan dalam pelarangan masuknya gas air mata .
Hal tersebut selaras dengan aturan pengamanan dalam kompetisi sesuai rekomendasi FIFA dan PSSI. Namun ia menyayangkan, hal tersebut tidak menjadi acuan, sehingga mekanisme pengamanan tidak sesuai dengan rekomendasi Induk Organisasi resmi Sepak Bola internasional .
“Jangan kemudian skill intuisi polisi dibunuh gara-gara ini (Tragedi Kanjuruhan). “Polisi hanya pelaksana, jangan dibolak-balik,” kata Kuncoro saat sidang di PN Surabaya.
Secara tegas, Kuncoro menilai tragedi dipicu oleh kisruh dimana musababnya adalah jumlah penonton yang melebihi ketentuan dan kapasitas. Terlebih, didatangi oleh suporter fanatik Arema FC, Aremania.
Tak ayal, penonton fanatik itu ingin agar hasil pertandingan dimenangkan tim kebanggaannya. Namun, kesenangan kala itu menjadi kesal lantaran Arema FC kalah 2-3 dari Persebaya.
Beberapa oknum Aremania terpancing dalam melakukan umpatan dan tindakan ekstrem. Kondisi diperparah dengan suporter lain yang kemudian tersulut.
“Mereka (suporter) merasa identitasnya tidak kelihatan, kenekatannya semakin menjadi. Ditambah, pertandingan berlangsung malam hari dan muncul rasa anominitas (tidak diketahui identitas),” ujarnya.
Sebelum terjadi pertikaian dengan polisi, suporter merangsek masuk dan mulanya mencoba melupakan kekesalan ke klub lawan. Sebab, kala itu tim Persebaya ternyata sudah pergi terlebih dulu masuk.
Massa kemudian mengalihkan kemarahan ke pemain Arema FC, dengan beragam ekspresi kesal. “Hal inilah kemudian dihalau petugas kepolisian. Sudah jadi kewajaran Kepolisian melakukan pengamanan, namun justru suporter beralih, meluapkan emosi mereka kepada petugas yang bertujuan mengamankan pemain.”Terjadilah benturan (antara polisi dengan suporter), karena dianggap melindungi,” tutur dia.
Merasa terancam oleh tindakan suporter, petugas kepolisian langsung merespons suporter dengan formasi, termasuk menyiapkan peralatan yang melekat pada diri mereka.
Kuncoro menilai, respons tersebut sangat wajar. Mengingat, Polri merupakan personel yang terlatih dalam pengamanan . Dan mereka disiapkan untuk kondisi chaos, pengalaman mereka dipelajari untuk menghadapi situasi di lapangan.
“Dalam penelitian psikologi, intuisi itu 2 tahap di atas rasional. Dengan pengalaman itu, polisi terlihat bertindak intuisi(secara nalar),” tutup Kuncoro.(Danu/Red)