NASIONAL – Bila dicermati penanganan peristiwa Brigadir J, pada satu sisi dapat dikatakan suatu perkembangan positif untuk menerangi peristiwa hukum, mengasah kecerdasan, membangun keadaban, dan mewujudkan cita-cita negara hukum demokratis, Selasa (2/8/21).
Namun pada sisi yang bersamaan juga menyajikan beragam implikasi buruk karena tidak dapat dimungkiri masalah ini telah menjadi ruang sentral kontestasi politik yang tidak sehat, yang bisa merusak hukum, kebenaran, keadilan, dan martabat kemanusiaan. Pada titik inilah, momentum ini perlu untuk menyelidiki bagaimana hati nurani dan nalar sehat serta ilmu pengetahuan bekerja secara bersamaan.
Berempati dan mempertanyakan kematian Brigadir J, memberikan support dan membela keluarganya merupakan suatu kewajiban utama yang harus dijalankan secara totalitas dan tanpa pamrih. Namun selain keluarga Brigadir J, dalam peristiwa ini juga ada banyak orang yang mengalami penderitaan.
Adalah naif, kalau kasus ini dianggap sebagai komoditas politik yang dipergunakan untuk menyerang integritas dan kredibilitas orang-orang lain.
Dalam kasus ini, juga jangan dipandang remeh ibu Putri Candrawathi dan keluarganya. Tidak mudah baginya menghadapi peristiwa seperti ini. Terlebih lagi namanya ikut terseret sebagai orang yang diduga mengalami pelecehan seksual.
Bagi seorang perempuan, diduga saja mengalami kasus pelecehan seksual telah menyiksa batinnya, apalagi jika benar atau terbukti ia mengalaminya. Untuk itu, ia juga berhak mendapatkan rasa empaty, kepedulian dan pembelaan secara totalitas. Di samping itu, hal yang juga perlu dipikirkan adalah anak-anaknya.
Mereka juga punya hak untuk diperhatikan sepenuhnya. Jangan sampai akibat tindakan gegabah, perkataan, dan informasi-informasi yang terus berkembang liar menyeret mereka kedalam jurang keterpurukan yang terlalu dalam. Karena bagaimanapun peristiwa ini dan pelbagai informasi akan menghunjam kebenaknya.
Apa yang disebut luka, penderitaan dan rasa sakit juga pasti akan dirasakan oleh Ibu Putri dan anak-anaknya, dan itu akan membekas sepanjang hidupnya. Terkadang luka batin memiliki daya rusak lebih parah.
Di luar dari itu, anggota Kepolisian yang ikut terseret namanya dalam peristiwa ini juga berhak diperlakukan yang sama dan dihormati martabat kemanusiaannya. Memahami suatu peristiwa, tentu ada keterkaitan antara sebab dan akibat, antara korban dan pelaku. Korban atau pelaku adalah istilah dan subjek yang bisa bertukar posisi.
Orang yang dituduh korban, bisa jadi ia pelaku, begitu pula sebaliknya. Dalam kasus ini, yang telah nampak dipermukaan bahwa Brigadir J meninggal. Kenyataan ini memang sangat menyakitkan karena kematian pasti meninggalkan luka yang amat dalam bagi keluarganya.
Namun status Brigadir J belum diputuskan oleh hukum, apakah ia seorang korban yang tidak bersalah, atau justru ia seorang terduga? Begitu pula dengan anggota Kepolisian yang lainnya, yang masih diduga terlibat, tapi statusnya dan derajat tindakannya belum tentukan. Bandingkan jika yang meninggal itu orang lain.
Dalam setiap kesalahan, ada derajat atau tingkatannya. Jangan menghukum orang melampaui dari derajat kesalahannya, itu bukanlah keadilan. Untuk itu, sebaiknya tidak menghakimi dan mencampur aduk sesuatu, sebelum fakta kebenaran menerangi misteri ini.
Proses yang baik harus dihargai, ketelitian dan ilmu pengetahuan harus berfungsi dengan baik untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Kebenaran itulah nantinya yang harus diterima dengan lapang dada. Oleh karena itu, menyikapi suatu masalah memerlukan sikap kritis, objektif, konstruktif dengan tetap mengedepankan moralitas serta menghormati martabat setiap manusia-tanpa terkecuali.
Hukum harus terus dijaga agar tetap hidup. Agar hukum tetap hidup, hukum perlu nutrisi. Nutrisi hukum itu moral. “Moral harus menjadi penerang yang menerangi kebenaran, baik atau buruk, salah atau benar dan mendudukkan suatu perkara pada tempat yang tepat dan proporsional.
Kepolisian, sebagai institusi penegak hukum sebaiknya juga jangan bertindak gegabah dan mengambil suatu keputusan berdasarkan tekanan suara mayoritas. Bertindak atas dasar tekanan mayoritas, bukan penyelesaian masalah, justru akan meninggalkan beragam permasalahan dikemudian hari baik permasalahan untuk internal Kepolisian maupun untuk menjaga nalar sehat publik.
Untuk itu Kepolisian harus berani berdiri tegak, sekalipun serangan dan kepercayaan terhadap Polri menurun. Jangan terkesima dan/atau goyah karena persentase kepercayaan, sebab kepercayaan dan/atau ketidakpercayaan itu tidak bersifat absolut, ia bergerak sesuai gerak hati manusia.
Pikiran dan kepentingan manusia, yang perlu diuji setiap waktu. Meskipun menyikapi masalah ini tidak mudah, namun Kepolisian tetap perlu menjaga independensinya sebagai penegak hukum, mengurai masalah ini secara teliti dan menunjukkan bukti-bukti hukum yang menyakinkan.
Prinsip Scientific Crime Investigation yang selama ini sering dipergunakan harus benar-benar dipraktikkan dalam menujukkan peristiwa yang sebenarnya kepada publik.(Iqbal/@Gus)